• Uncategorized

YLKI : Saatnya Sektor Properti di Indonesia Berubah

Written by on 11 November 2016

Memiliki tempat tinggal yang layak adalah impian dari setiap masyarakat di seluruh dunia. Dalam pasal 25 ayat 1 Universal Declaration of Human Rights yang secara khusus dijelaskan dalam pasal 11 International Covenant on Economic,  Social and Cultural Rights. Setiap masyarakat berhak atas standar kehidupan yang layak bagi dirinya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan. Negara wajib untuk berpartisipasi secara aktif dan pasif untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya terhadap akses perumahan yang layak. Aktif dalam artian membangun secara langsung dan pasif dalam bentuk regulasi yang mendukung pemenuhan hak masyarakat.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa standar internasional dari rumah yang layak memiliki indikator. Baik dari aspek legalitas kepemilikan, sarana & pra-sarana, biaya yang terjangkau, lokasi yang strategis, menopang pemeliharan kebudayaan masyarakatnya, dan yang utama adalah layak huni yang dapat melindungi penghuninya. Adanya kesenjangan jumlah antara kebutuhan rumah dan pasokan rumah sehingga menimbulkan backlog. Pemerintah saat ini lebih fokus pada penyediaan rumah tapi kurang memperhatikan indikator diatas.

“Ada program 1 juta rumah, tetapi rumah yang sudah dibangun itu menjadi masalah yang baru, bahkan tercatat di Indonesia kekurangan 12 juta unit rumah tangga yang belum memiliki akses perumahan yang layak diukur dari akses kepemilikan,” kata Mustafa Aqib Bintoro.

Bukan hanya itu, menurut Mustafa, jumlah pengaduan yang masuk YLKI sektor properti atau sektor perumahan menjadi salah satu komoditas yang setiap tahunnya bisa mendominasi pengaduan. Tercatat di tahun 2015, dari seluruh komoditas yang terkait dengan konsumen hampir 16% terkait perumahan. Jika di total secara keseluruhan mencapai 160 pengaduan, itu hanya melalui surat, email, dan yang datang langsung, belum terdata dari pengaduan via telpon. Dalam hal ini menunjukkan bahwa terjadi paradoks, yang harusnya idealnya bagus dan regulasinya bagus tetapi berbalik dengan fakta yang ada dan menjadi tanda tanya besar.

Lebih lanjut, kalau dari pengaduan yang masuk di YLKI, pengaduan yang terkait perumahan ini potensi konfliknya sangat besar karena berbeda dengan kasus dengan perbankan karena hanya terbatas antara konsumen dengan bank, tidak akan melebar kemana-mana. Tapi kalau masalah perumahan yang dikhawatirkan pengaduan atau permasalahan sengketa konsumen akan melebar menjadi konflik sosial dan ini sudah banyak terjadi. Akibatnya terjadi pertikaian antara penghuni dengan developer atau pihak swasta. Kalau ini dibiarkan bisa menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja seperti yang terjadi di Kalibata City.

Jika dianalisa berdasarkan sistem hukum dan efektivitasnya, menurut Lawrence M. Friedmann, baik buruknya suatu sistem hukun dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : substansi hukun, struktu hukum, dan budaya hukum. Pendapat tersebut kemudian diperluas oleh Soerjono Soekanto menjadi 5 faktor, yaitu faktor : perundang-undangan, aparat penegak hukum, budaya hukum, sarana & prasarana, dan masyarakat.

Kelima faktor diatas menurut Soerjono Soekanto masing-masing memegang peranan penting untuk memperbaiki sektor property secara makro. Menurut Mustafa, pemerintah harus memperbaiki regulasi yang terkait dengan pengawasan dan pembinaan, mendorong upaya penegakan hukum yang maksimal, meningkatkan kapasitas SDM aparatur negara, baik penyelenggara maupun penegak hukum terkait tugasnya disektor properti, dan yang terakhir adalah perlu adanya revolusi mental dari semua pihak. Sektor properti dapat berjalan dengan apa yang kita harapkan jika itu semua dapat tercipta dan mencapai cita-cita yaitu hunian yang layak.  


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL