Menyikapi Kenaikan Cukai Rokok dan Dampaknya bagi Masyarakat

Written by on 20 September 2019

Jakarta. Menyikapi dampak kenaikan cukai rokok yang akan ditetapkan pemerintah ,Tobacco Control Suppport Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC, IAKMI) mengadakan Konferensi Pers pada Rabu, (18/09/19), di Madame Delima, Jl. RP. Soeroso No.1A, Menteng, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh dr. Sumarjati Arjoso, SKM; Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB-UI , MSc; Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI; dr. Sudibyo Markus, Ketua Indonesia Institute for Social Development; Tulus Abadi, SH; Ketua TCSC-IAKMI; Dr. Widyastuti Serojo, Ketua Pengurus Harian YLKI, Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE.

Tingginya prevalensi perokok di Indonesia menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran sebesar 35% per 1 Januari 2020. Prevalensi perokok usia 10-18 tahun di Indonesia menurut Riskesdas 2018 meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018. Secara nasional, prevalensi merokok di Indonesia sebesar 29%, angka ini menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (WHO). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar 33,8%, dimana 62,9% pada laki-laki dan 4,8% pada perempuan. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebesar 1%. Pada usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan konsumsi rokok dari tahun 2013 ke 2018, dengan peningkatan mencapai 1,9%.

Kebijakan tersebut mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor). Kenaikan cukai rokok bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok (legal maupun ilegal) dalam rangka mengendalikan prevalensi merokok dan kepedulian mengenai aspek kesehatan salah satunya anak dan remaja. Dalam kesempatan tersebut, Dr. Widyastuti Serojo, MSc, menyampaikan  jika harga jual rokok di pasar akan mempengaruhi  daya beli anak dan remaja, sehingga dapat mengurangi konsumsi rokok pada kalangan tersebut.

“Pertama terhadap besaran kenaikan cukainya dan kedua terhadap alasan pemerintah atas kenaikan cukai ini, yaitu untuk menurunkan konsumsi pada kelompok perokok anak dan remaja. Harga jual rokok di pasar berpengaruh terhadap daya beli anak dan remaja,” ujar Dr. Widyastuti Serojo.

Hal tersebut senada dengan penelitian dari PKJS, UI yang menemukan bahwa perokok akan berhenti merokok jika harga rokok naik hingga Rp. 70.000,- Untuk itu, menurut Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE pemerintah harus fokus menaikan harga produk sigaret kretek mesin golongan 1 sebagai penguasa pangsa pasar hingga 63%. Selain itu, cukai dan harga jual eceran harus naik hingga 2 kali lipat pada jenis rokok tersebut untuk menurunkan konsumsi rokok.

“Jika pemerintah tidak menaikan harga produk sigaret kretek mesin golongan 1 sebesar dua kali lipat, akan sama saja, tidak akan berguna, masalah terbesarnya pada sigaret kretek mesin golongan 1, daya beli terbesar ada disana” ujar Dr. Abdillah Ahsan dalam Konferensi Pers tersebut.

Rokok merupakan bentuk utama penggunaan tembakau. Secara global terjadi peningkatan konsumsi rokok terutama di negara berkembang. Diperkirakan saat ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar orang (Tobacco Control Support Center, 2015). Indonesia berada diperingkat ke-3 jumlah perokok dunia, setelah China dan India. Satu dari 3 penduduk Indonesia adalah perokok.

 

Ditulis Oleh : Rionaldo Timothy

Tagged as

Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL