Guru Besar UKI Prof Lis Sintha: Saatnya BPR dan BPRS Tawarkan Pinjol untuk Kepentingan Produktif
Written by Daniel Tanamal on 20 January 2024
Jakarta, RPK FM – Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) Profesor Dr. Lis Sintha, S.E., M.M., mengatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mendorong Bank Perekonomian Rakyat (BPR) melakukan adopsi teknologi agar bisa mengambil kesempatan yang sama dengan Fintech. Sehingga BPR ataupun BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) nantinya bisa memberikan pelayanan dan masyarakat tidak perlu lari ke pinjaman online yang memberikan suku bunga tinggi.
“Sudah saatnya BPR dan BPRS gencar menawarkan pinjaman secara online untuk kepentingan produktif generasi milenial dengan bunga yang kompetitif dan diberikan pendampingan melalui literasi dan inklusi keuangan. Tentunya dengan tetap menerapkan pemberian kredit yang sehat.” katanya di Auditorium Graha William Soerjadjaya UKI Cawang (19/01).
Hal ini dikatakannya dalam orasi ilmiah berjudul ‘Masyarakat Wajib Paham Manajemen Risiko (Kajian Terhadap Dampak Meningkatnya Pinjaman Online), saat dirinya dikukuhkan sebagai Profesor bidang Ilmu Manajemen. “Pinjaman online membawa dampak positif berupa peningkatan inklusi keuangan yang merupakan salah satu target utama pemerintah namun disisi lain pinjaman online juga mempunyai dampak yang buruk, sehingga muncul pendapat untuk dilakukan penutupan pinjaman online dari berbagai pihak,” tambahnya.
Fintech Lending atau Peer-to-Peer Lending atau masyarakat lebih mengenal sebagai Pinjaman Online (Pinjol) merupakan penyelenggara layanan keuangan melalui sistem elektronik. Disebutkan juga bahwa OJK telah menerbitkan Peraturan Nomor 10 /Pojk.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) dan secara resmi memperkenalkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI/fintech P2P Lending) 2023-2028.
“Peraturan dan Dokumen ini menjadi acuan bagi semua pihak terkait di industri fintech P2P lending untuk menciptakan lingkungan industri fintech peer to peer (P2P) lending yang sehat, berintegritas, fokus pada inklusi keuangan, perlindungan konsumen, dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya. Hal ini mencerminkan komitmen OJK untuk memperbaiki serta mendorong kontribusi industri fintech lending terhadap perekonomian nasional, terutama dalam pembiayaan sektor produktif.
Menurut Profesor Lis Sintha, dengan literasi keuangan yang minim dan kurangnya sadar risiko pada anak-anak muda membuat mereka mempunyai skor kredit yang buruk dan terkena black list dalam pengajuan kredit. Generasi milenial sudah banyak yang masuk datanya ke SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) karena mempunyai pinjaman online dengan status tidak lancar dan macet.
“Masyarakat seharusnya menghitung anggaran yang realistis agar bisa melunasi pinjamannya. Memberikan informasi yang benar sehingga tidak terjadi salah analisa oleh pihak pemberi pinjaman dan mengajukan pinjaman online sebaiknya untuk keperluan produktif,” kata Prof. Lis Sintha.
Untuk itu masyarakat seharusnya sadar risiko, karena pemahaman tentang manajemen risiko menjadi penting. Edukasi mengenai manajemen risiko dapat dilakukan oleh pemerintah, regulator, akademisi, dan penyelenggara pinjaman online dengan melakukan literasi keuangan, mengajak masyarakat untuk melakukan identifikasi risiko dan mitigasi risiko.
“Jika masyarakat mampu mengidentifikasi risiko yang akan terjadi tentunya masyarakat akan meminjam sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Menyeleksi penyelenggara pinjaman online agar mendapatkan bunga yang rendah sehingga tidak memberatkan dalam mengangsur pinjaman,” sarannya.
Salahsatu contohnya adalah melakukan manajemen risiko secara sederhana, pengajuan pinjaman online dalam perjalanan pembayaran angsuran bisa saja ada risiko gagal bayar akibat kehilangan pekerjaan. Untuk itu agar tidak kehilangan pekerjaan tentunya, harus bekerja dengan baik dan selalu meningkatkan kompetensi, sehingga jika kehilangan pekerjaan, masih mempunyai kesempatan untuk mencari pekerjaan lain karena kompetensi pribadi yang baik. “Dengan demikian gagal bayar juga bisa diminimalisir. Sehingga kehilangan pekerjaan atau misalnya sakit tidak dijadikan alasan untuk gagal bayar, karena masyarakat sudah paham bagaimana melakukan mitigasi risikonya,” jelasnya.
Peran Regulator Dalam Perlindungan Konsumen
Mengajukan pinjaman online lebih mudah daripada pinjaman formal (perbankan) karena syaratnya lebih mudah dan cepat cair, bahkan tanpa agunan. Namun, perjanjiannya bersifat baku dan penerima pinjaman berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Penerima pinjaman online rentan tercederai hak-haknya karena kedudukannya yang lemah dan perjanjian yang tidak transparan. Perjanjian baku seharusnya didasarkan itikad baik, namun praktiknya sering melanggar ketentuan perlindungan konsumen.
Lebih lanjut, Profesor Lis Sintha menjelaskan penerapan perlindungan hukum terhadap konsumen di sektor jasa keuangan telah diterapkan di Indonesia dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Regulasi yang mencakup aspek ini tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 mengenai Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, yang kemudian mengalami revisi dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.07/2022 mengenai Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Untuk mengurangi risiko di masyarakat, peraturan ini mengatur salah satunya tentang penagihan.
SE OJK tentang Penyelenggaraan Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) juga mengatur tentang penagihan. Karena ingin meminimalkan risiko dimasyarakat, regulator sampai mengatur tentang penagihan ini demikian ketat, yang bisa merugikan juga pihak perbankan dan penyelenggara pinjaman online karena sulit melakukan penagihan.
Dengan memberikan pemahaman mengenai manajemen risiko ini maka masyarakat terutama generasi milenial dan gen Z akan belajar mengidentifikasi dan memitigasi risiko, sehingga hal-hal yang sering terjadi terkait pinjaman online tidak lagi terjadi dan peraturan perlindungan konsumen juga tidak menjadi berat sebelah karena mengabaikan hak-hak pemberi kredit atau pinjaman.
Peran BPR, BPRS dan Koperasi Mahasiswa
Selain juga mendorong BPR dan BPRS untuk ikut memberikan pelayanan pinjol, seperti dalam tulisan diawal tadi, kampus juga perlu mendorong mahasiswanya untuk mempunyai operasi mahasiswa, sehingga jika memerlukan dana bisa melalui koperasi mahasiswa. Profesor Lis Sintha mengutarakan mengedukasi masyarakat terutama generasi milineal dan Z untuk sadar risiko memahami manajemen risiko adalah tanggung jawab kita bersama untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Selain itu Kampus juga perlu mendorong mahasiswanya untuk mempunyai koperasi mahasiswa, sehingga jika memerlukan dana bisa melalui koperasi mahasiswa.