Hapus Iklan Rokok di Media Penyiaran!
Written by Daniel Tanamal on 16 August 2017
Iklan rokok di Indonesia saat ini sudah beredar luas dan bebas. Walau sudah diatur jadwal penayangan atau penyiarannya, iklan rokok seolah mendominasi layar kaca dan ruang dengar masyarakat. Selain berupa spot iklan, rokok juga menjadi sponsor acara olahraga, musik dan film, yang dipublikasikan di hampir semua media massa. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM menunjukkan lebih dari 6.500 iklan rokok tayang di lembaga penyiaran Indonesia.
Dari hasil riset yang didapatkan, Hario Megatsari dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga mengatakan…
“Di Indonesia sebanyak 7% remaja, ini semua hasil riset, mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan. Jadi pertama kali merokok itu selain karena teman tapi juga karena iklan. Kemudian iklan itu juga menyebabkan untuk ke istiqomahan merokok. Kemudian iklan itu menjadi faktor untuk rileks. Jadi setelah dia berhenti, dia ketika melihat iklan itu ada motivasi untuk kembali, bahkan mendorong mereka untuk kembali merokok, ini yang ironi. Jadi usaha-usaha yang sudah kita lakukan sedemikian rupa, itu bisa hilang dalam sekejap karena iklan. Dokumen yang ditemukan dari industri rokok bahwa remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap. Jadi industri rokok itu menginvestasikan sedemikian banyak uangnya untuk rokok, itu karena apa, supaya remaja itu menjadi calon pelanggan tetap. Usia 17-18 tahun sudah mulai merokok, 30 tahun hidup dan dia menjadi pecandu, 30 tahun itu dia akan tetap merokok dan akan membeli produk rokoknya.”
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI Tulus Abadi juga menyampaikan, iklan rokok tersebut sudah melanggar undang-undang yang ada di Indonesia, seperti undang-undang tentang anak dan kesehatan. Kemudian rokok merupakan zat adiktif yang sesungguhnya tidak layak untuk diiklankan.
“Iklan rokok ini kan pada konteks normatif yang lebih besar, baik pada konteks Undang-Undang Kesehatan atau pun yang lain, Undang-Undang Anak. Sebenarnya memang sudah sangat tidak layak untuk diiklankan, karena ini zat adiktif. Zat adiktif itu tidak ada di dunia manapun zat adiktif yang menimbulkan ketergantungan kok diiklankan. Ini secara diametral bertentangan dengan filosifi zat adiktif dimana zat adiktif itu konteksnya harus dibatasi. Dilarang promosinya, konsumsinya pun dibatasi, penjualannya juga dibatasi, bukan malah diiklankan.”
Maka dari itu, dibuatlah revisi mengenai Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sekarang ini tengah menjadi perdebatan, lantaran terjadinya perubahan pasca Komisi I menyerahkan draft versi mereka ke Badan Legislatif. Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Muhamad Heychael mengatakan….
“Nah menarik, itu baru-baru ini, ketika proses memasuki ke Badan Legislatif, jadi Komisi I sudah menyerahkan draft versi mereka ke Badan Legislatif, terjadi perubahan. Yang menarik adalah begini, harusnya Badan Legislatif itu melakukan sinkronisasi terhadap Undang-Undang yang lain, yang terjadi justru Baleg mau mengubah beberapa hal, termasuk didalamnya adalah pasal mengenai iklan rokok. Ini yang perlu menjadi catatan. Sebetulnya kalau kita lihat track recordnya, Komisi I ini sudah clear sikapnya, perubahan itu terjadi pasca draft tersebut masuk ke Baleg. Penting untuk dicatat, bahwa kenapa iklan rokok ini menjadi satu isu yang diusung juga oleh Kolasisi Nasional Reformasi Penyiaran, karena bagi kami kan visi pertama adalah perlindungan publik, nah dalam hal ini terutama kelompok rentan. Kan selama ini ada dua argumen mengenai bagaimana seharusnya pengaturan iklan rokok dilakukan. Yang pertama dilarang sama sekali di media penyiaran.”
Menurut laporan dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO tahun 2013, ada 144 negara yang telah melarang penayangan iklan rokok melalui berbagai media. Diantaranya negara Amerika, Eropa, Vietnam dan negara lainnya. Karena itu, Tulus Abadi mengatakan Negara Indonesia merupakan negara yang primitif, terbukti hingga saat ini hanya Indonesia yang masih menayangkan iklan rokok.
“Saya kira kalau kita tarik kebelakang pada konteks internasional, sebenarnya kan Indonesia itu negara yang primitif dalam konteks regulasi masalah beriklanan rokok. Jadi kalau Indonesia sekarang masih berjibaku dengan iklan rokok di media khususnya televisi, itu saya katakan menjadi sangat primitif. Sehingga sebenarnya ini sangat memalukan dalam konteks dunia penyiaran di Indonesia, sehingga kalau ATVSI hanya mengusulkan pada pembatasan, yaa artinya ATVSI ini masih primitif juga, primitifnya itu bukan semata karna belum tahu atau belum terbahas, yaa mungkin ada bergaming.”
Kemudian Muhamad Joni, Anggota Dewan Pengurus Bidang Hukum Komnas Pengendalian Tembakau berharap agar Komisi I tetap konsisten untuk melarang penayangan iklan rokok di media penyiaran karena jika Komisi I tidak melarang, sama halnya tidak memenuhi hak asasi manusia termasuk hak kesehatan.
“Kalau dilihat dari perkembangannya, larangan iklan rokok ini kan sebenarnya bukan hal yang baru, dan advokasinya bukan hal yang baru. Tetapi kita kan menginginkan keadaan yang baru. Jadi yang dilakukan Komisi I sebenarnya adalah upaya untuk lebih memastikan Hak Konstitusional daripada rakyat dalam hal pemenuhan Hak Kesehatan dan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa kesehatan itu kan sebagaimana Hak Asasi Manusia dan Hak EKOSOB (Ekonomi Sosial dan Kultur) harus diemban, harus dilaksakan dengan prinsip yang kita sebut sebagai progressively dan full achievement. Jadi untuk kesehatan, untuk pendidikan sebagai ekosob itu kita tidak boleh kita melakukan upaya biasa biasa saja. Dan Pemerintah bahkan negara termasuk Pemerintah termasuk Legistatif itu mengupayakan apa yang tadi disebut sebagai progressively dan full achievement, itu eksplisit didalam instrumen EKOSOB.”
Sementara itu, Hery Chariansyah, Direktur Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan Indonesia mengatakan iklan rokok yang sekarang sebenarnya sudah bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang menyebabkan ketidakharmonisan suatu hukum di Indonesia.
“Padahal kita memahami betul bahwa sebenarnya, dalam kontek perkembangan hukum yang ada, keberadaan iklan rokok itu malah bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, nah itu satu. Yang kedua, bahkan iklan rokok yang ada sekarang pun dapat disebut bertengan dengan putusan mahkama konstitusi yang ada. Dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang sistem pembentukan peraturan Perundang-Undangan itu dinyatakan bahwa, pembentukan peraturan Perundang-Undangan itu harus paling tidak materinya harus disesuaikan dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar, itu yang pertama. Yang kedua harus menindaklanjuti putusan Mahkama Konstitusi. Nah ini yang saya kira harus menjadi dasar betul kenapa Baleg dan Komisi I harus melarang iklan rokok.”
Ditinjau dari segi kesehatan, asap rokok jika terhirup dan masuk ke dalam tubuh sangat tidak baik, dikarenakan ada zat berbahaya yang terkandung didalam rokok. Dokter Frans Abednego Barus Spesialis Paru dan Kedokteran Respirasi menjelaskan…
“Mengapa rokok itu berbahaya, kerana rokok itu kan dia terus menerus kemudian jumlah hisapan atau jumlah batang rokok semakin lama perharinya semakin meningkat, dan itu yang akan membuat partikel-partikel berbahaya itu menumpuk dan tertahan didalam paru dan saluran nafas. Hal ini akan mengubah kriteria atau karakteristik sel-sel di paru atau di saluran nafas menjadi berubah sifat, namanya metaplasia, metaplasia ini akan mengakibatkan perubahan sifat sel menjadi ganas, dan sel-sel ini bersifat destruktif dan dia bisa menyebar yang disebut dengan metastasis. Dan inilah yang disebut dengan kanker. Zat-zat berbahaya itu yang paling dinilai berbahaya adalah tar, dan tar ini juga menyebabkan kerusakan, karena dia bisa mengendap dan tidak dapat dihilangkan dari saluran nafas apabila masuk ke paru-paru seorang perokok.”
Banyak masyarakat yang menyepelekan asap rokok yang terhirup. Jika diteliti sebenarnya smoker dan second handed smoker atau yang dulu dikenal dengan perokok aktif dan pasif, asap rokok tersebut sama membahayakannya bagi tubuh.
“Kalau berdasarkan penelitian, sebenarnya boleh dikata resikonya sama, antara seorang perokok dengan seorang second handed smoker. Namun kadang-kadang karena seorang second handed smoker itu bukanlah perokok, jadi dia tidak terbiasa merokok, keluhan klinisnya seperti batuk dan sesak kadang-kadang bisa lebih berat dibandingkan perokok itu sendiri.”
Saat diwawancarai oleh kru RPK FM Jakarta, beliau sudah menangani pasien yang datang dengan keluhan yang diakibatkan karena merokok dengan jangka waktu yang lama.
“Mereka-mereka yang perokok biasanya merokok sekian lama, katakanlah 10-15 tahun, baru mereka merasakan ada gangguan. Gangguan yang paling sering adalah sesak nafas. Dan pada keadaan ini seorang perokok sudah mengidap penyakit-penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), atau dalam Bahasa Inggris Chronic Obsstructive Pulmonary Disease (COPD) dan ini yang paling sering membawa pasien ke dokter. Naik tangga sesak, berjalan jauh, berlari, berjalan menanjak sesak dan kadang dinafasnya mengeluarkan bunyi mengi. Pasien-pasien seperti ini biasanya datang dengan batuk darah, dan ketika kita lakukan pemeriksaan dengan teliti, ternyata sudah ada tumor atau kanker paru pada pemeriksaan foto rontgen dada atau toraks. Jadi ada dua sebenarnya yang paling sering terjadi pada organ pernafasan. Yang pertama penyempitan saluran nafas atau PPOK, yang disebabkan oleh inflamasi atau iritasi terus menerus saluran nafas, sehingga penyempitan saluran nafas. Yang kedua adalah kanker paru, karena iritasi kronis dan zat-zat kimiawi berbahaya menyebabkan perubahan sel menjadi sel-sel kanker.”
Selain itu Dokter Frans juga menyayangkan kurangnya informasi tentang bahaya merokok pada iklan rokok yang ada di Indonesia.
“Dari padangan kami medis mengenai iklan merokok, iklan-iklan rokok yang sekarang tampaknya kurang greget untuk menampilkan bahwa merokok itu berpotensi berbahaya. Jadi iklan-iklan rokok ini dinilai tidaklah mampu untuk bisa menghentikan seorang perokok. Karena untuk berhenti merokok itu ada di dalam diri si perokok itu sendiri. Paling yang bisa dihampang oleh iklan-iklan larangan merokok itu adalah untuk peroko-perokok baru, siswa SMA SMP yang mungkin ingin mencoba merokok, jadi seperti diberikan gambaran atau ditakut-takuti dengan gambar-gambar tersebut sehingga dia tidak mau mencoba merokok. Nah apakah iklan-iklan sebaiknya dihilangkan? Saya tidak berkata demikian, tetapi seperti negara tetangga, mereka melakukan kenaikkan harga rokok yang mahal, jadi baik ada iklan maupun tidak ada iklan, baik ada larangan maupun tidak ada larangan, kebiasaan merokok itu sulit diberhentikan, perokok-perokok baru muncul terus. Karena memang untuk berhenti merokok itu harus ada lahir dari keinginan dari si perokok itu sendiri.”
Lalu bagaimana pendapat masyarakat mengenai iklan rokok?
“Menurut pendapat saya, image iklan rokok itu tidak sesuai dengan bahaya yang ditimbulkan rokok itu sendiri. Kita tahu bahwa rokok itu berbahaya buat kesehatan, baik perokok itu sendiri, atau orang disekitarnya. Tapi yang saya lihat selama ini, iklan rokok justru menunjukkan bahwa setiap orang yang merokok itu gagah, berkelas dan terlihat hebat.”(Dina)
“Menurut saya, rokok itu sangat membunuh, mengapa, karena mengakibatkan orang disekitar perokok tersebut itu menjadi terganggu pernafasannya apalagi yang sudah berumur akan menjadi sakit.”(Henky Sky)
“Kalau menurut saya iklan rokok itu pantas saja dipublikasikan, karena kan kita tahu yaa setiap produk pasti butuh yang namanya publikasi untuk menarik perhatian banyak orang. Tetapi mungkin iklan rokok itu harus dibatasi hmm untuk penayangan dan publikasinya kali yaa.”(Amy)
Setiap hari pengguna rokok semakin bertambah, terutama dikalangan anak remaja. Sudah seharusnya Pemerintah dan warga negara Indonesia sadar, betapa buruknya jika rokok tetap diiklankan di lembaga penyiaran. Sepatutnya kesehatan menjadi hal yang utama bagi kita. Rokok adalah zat adiktif yang membuat kecanduan. Tidak selayaknya diiklankan, masa sih zat adiktif diiklankan?