Waktunya Indonesia Melawan Pemaksaan Kehendak
Written by rpkfm on 15 May 2017
Berbagai kelompok masyarakat di belakangan hari sebelumnya, mengundang banyak perhatian pasalnya, kelompok masyarakat ini sudah mulai melakukan berbagai kegiatan pro trans nasional yang berlandaskan hukum suatau keagamaan. Hal yang meresahkan bagi tatanan sosial Indonesia ini, mendorong pemerintah Indonesia membubarkan ormas meresahkan melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, melalui konferensi pers di kantor Menkopolhukam, Jakarta pada hari Senin tanggal 8 Mei 2017 yang lalu.
Indonesia sebagai negara demokrasi memang tidak melakukan pelarangan bagi setiap kelompok masayarakat yang mengekspresikan aspirasinya. Hanya saja sikap lepas kendali dari kelompok masyarakat berujung pada keprihatinan bersama masyarakat kebanyakan. Keperhatianan itu muncul dari ungkapan kelompok kecil masyarakat yang ingin menerapkan ideologi trans nasional berdasarkan keagamaan di Indonesia.
Hal tersebut tentu mengancam kerukunan dan persatuan bangsayang memiliki keaneka ragaman kehidupan berkeagamaan di Indonesia. Jelang Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2017, bangsa Indonesia sangat diharuskan memiliki rasa perduli untuk menyikapi segala kegiatan yang mengarah pada anti landasan hidup bersama, yaitu Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Dalama kondisi ini, masyarakat harus ikut serta dalam mengawasi gerakan-gerakan yang mengancam persatuan negeri ini. Dan hal itu dengan aktif menginformasikan kepada aparat berwenang. Kesadaran untuk perduli dengan situasi ini bukan untuk menakut-nakuti, terlebih bila kita mengingat berbagai peristiwa yang sama yang sudah dialami negara-negara akibat pemaksaan kehendak.
Tunisia, Libya, Mesir, dan Suriah, adalah contoh negara-negara yang rakyatnya harus memiliki sejarah yang bersimbah darah lantaran perpecahan yang didahului pemaksaan kehendak, yang dimanfaatkan kekuasaan yang datang dari luar masing-masing negara itu. Beberapa negara tersebut akhirnya dipaksa menyelesaikan masalah bangsanya dengan campur tangan bangsa asing.
Semua yang dialami bangsa-bangsa Afrika Utara dan Timur Tengah itu bisa saja dialami bangsa kita, bila kita selalu menyamakan akar bangsa ini dengan bangsa-bangsa tersebut. Namun ada perbedaan mendalam di kehidupan masyarakat negara-negara tersebut dengan masyarakat di Nusantara. Masyarakat Nusantara yang sejak lama menerima berbagai ide pemikiran dan budaya bangsa lain.
Penerimaan berbagai ide dan budaya asing yang tersaring itu menunjukan bahwa etika dan nilai-nilai masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang memiliki keterbukaan, dalam menerima segala perbedaan di setiap kehidupan. Sebab itu bukan hal mengada-ada bila kebanyakan bangsa-bangsa di Nusantara ini menolak adanya kehendak penerapan hukum eksklusif suatu agama.
Penolakan dari banyak kelompok masyarakat kian menjadi, saat kekasaran dan kekerasan bergulir, dalam proses pemaksaan penerapan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa-bangsa di Nusantara. Kekasaran verbal yang berkembang menjadi kekerasan fisik akhirnya jadi momentum tiap mata dan hati masyarakat Indonesia untuk bangkit menyuarakan perlawanan.
Perlawanan yang mengusung Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD’45 bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, berhadapan dengan kelompok pendukung khilafah di negara ini. Dan perlawanan yang semakin memanas ini sesungguhnya perlu disikapi dengan baik, agar tercipta saling pengertian dan perdamaian antar bangsa yang majemuk sejak masyarakat nusantara ini ada.
Penyelesaian kelompok pemaksa kehendak ini membutuhkan peran aktif masyarakat berbagai bagai kelompok untuk menyadari hidup kebersamaan yang tidak pernah bertentangan dengan ajaran agama, nilai-nilai luhur, budaya masyarakat dan rasa tiapa- bangsa-bangsa di Nusantara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berKetuhanan, berkemanusiaan, dalam persatuan yang berkemufakatan untuk keadilan sosial di Indonesia.