Menilik Kuasa Industri Rokok di Indonesia
Written by rpkfm on 30 May 2019
Tak kasat mata, cengkraman kuasa industri rokok atas kuasa politik di Indonesia kian mengakar. Bagaimana sikap dan prilaku para politisi di parlemen yang condong membela industri rokok, juga pemerintah yang menarik ulur kebijakan terkait dengan industri rokok. Daya cengkram industri makin kentara saat memasuki pesta demokrasi di tanah air.
Adalah anggota parlemen, Sumarjati Arjoso pada beberapa kesempatan diskusi publik mengaku diperingatkan oleh fraksi Gerindra untuk tak membahas isu pengendalian tembakau jelang pemilihan umum 2019.
“Masih tetap dengan semangat, meskipun terus terang saya sudah diperingatkan menjelang pilpres, Ibu Sum jangan ngomong soal rokok dulu. Memang ini permasalahan kita di Indonesia sedemikian besarnya tentang rokok ini. Dimana industri rokok itu pengaruhnya dimana-mana dengan modal yang begitu besar, sedangkan kita dengan modal semangat kita saja…” ujar Sumarjati Arjoso.
Sumarjati Arjoso atau biasa dipanggil Ibu Sum memang terkenal sebagai pegiat pengendalian tembakau di Indonesia. Posisinya sebagai Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia pun menjadi garansi komitmennya soal pengendalian tembakau. Ia tetap semangat menyuarakan pentingnya pengendalian rokok.
“Orang-orang yang miskin itu pengeluaran kedua di rumah setelah bahan pokok itu adalah rokok. Dan anak-anaknya kurang gizi. Apakah tidak menyedihkan gitu loh? Sampai saya maaf loh saya ini orang DPR biasanya dilarang ngomong gini-gini tapi ya saya ngomong sajalah, karena ini kan dari hati nurani kan.…” papar Bu Sum.
Hati nurani yang mendorong Bu Sum setia dengan isu pengendalian tembakau di parlemen. Begitu pula Hasbullah Thabrany, pegiat pengendalian tembakau yang pada pemilu ini berjuang masuk ke parlemen lewat partai politik. Bertarung menegakkan pengendalian tembakau di Senayan menjadi penting karena kuasa industri yang sudah bercokol lama di kalangan anggota parlemen. Prof. Hasbullah mencontohkan, suara senada kubu 01 dan kubu 02 soal kenaikan cukai rokok jelang pemilihan presiden 2019.
“Kita tahu ini politiknya luar biasa, mengapa Gerindra juga mendukung. Tadinya ekspektasinya, kalau (tidak) naikin cukai bulan Oktober, karena ini tambah sensitive, bakal dihajar oleh lawan politik, ternyata juga dia juga kagak mau menghajar juga, mengaminkan, seperti tadi yang saya bilang, ini ada hidden hand yang masuk ke dua sisi. Mengapa? Ya yang namanya politik itu kekuasaan, kekuasaan itu ya duit…” kata Hasbullah Thabrany.
Sebelumnya pemerintah sempat menggodok kenaikan cukai rokok di tahun 2019 melalui Peraturan Menteri Keuangan. Penaikkan cukai rokok itu merupakan kebijakan yang rutin dlakukan pemerintah setiap tahun. Di parlemen rencana kenaikan cukai rokok 2019 sudah disepakati. Menurut Sumarjati Arjoso, mayoritas anggota hanya meminta kenaikkan cukai tidak terlalu tinggi. Tapi jelang pemilihan presiden semuanya berubah…
“Kenaikan cukai waktu itu kita sudah seneng ya katanya DPR merevisi kenaikan cukai, gak ada. Pemerintah saya tanya menteri wakil menteri keuangan setuju kenaikan cukai, gak ada kemudian, gak ada juga -pelaksanaannya-…”
Demikian Sumarjati Arjoso, seorang anggota parlemen yang juga penggiat pengendalian tembakau di Indonesia. Periode mendatang, Bu Sum gagal mendapat masuk Senayan dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah III. Sementara pejuang pengendalian tembakau lainnya, Hasbullah Thabrany pun setali tiga uang.
Kokohnya cengkraman industri terhadap politisi di Senayan yang dibicarakan Bu Sum dan Hasbullah Trabrani memang sulit dilihat dengan kasat mata. Tapi pada 2018, Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) melansir Indeks Campur Tangan Industri Rokok. Pada laporan itu, Indonesia berada di peringkat ketiga tertinggi, setelah Jepang di peringkat pertama dan Bangladesh di ranking kedua.
Dalam keterangan tertulisnya, Penasehat Senior Kebijakan dari SEATCA, Mary Assunta mengatakan bahwa campur tangan industri rokok terindikasi menggunakan program kepedulian sosial atau CSR, hingga intervensi kebijakan pengendalian tembakau dengan kekuatan uang mereka.
“Karena kita tahu memang, pertama industri tembakau punya kekuatan uang, dan bagi politikus uang itu penting. Memang bentuknya gak selalu dalam bentuk uang, bentunya misalnya memfasilitasi mereka untuk bertemu dengan masyarakat, konsumsinya mereka yang bayar, trus bahkan perjalanannya si anggota ini dibayarin sama industri, ketemu sama masyarakat, ketemu sama petani. Itu kan bagi politisi, itu kan sesuatu yang luar biasa. Dan mereka gak perlu pusing-pusing kan arrange waktunya, arrange masyarakatnya, tinggal datang dan ngomong…”
Demikian Mouhamad Bigwanto, peneliti dari SEATCA, Southeast Asia Tobacco Control Alliance di Indonesia.
Penelitian terbaru soal Intervensi Industri Rokok terhadap Kebijakan Cukai Rokok di Indonesia 2018 yang dilakukan SEATCA juga menemukan bahwa pembatalan kenaikan cukai rokok di tahun 2019 sebagai bentuk pengaruh industri rokok terhadap pemangku kebijakan. Kembali Mouhamad Bigwanto…
“Banyak sekali, kalau dalam laporanku dalam coverage media ya, anggota DPR yang bicara soal itu, soal jangan naikin cukai, nah at least kalau dalam coverage yang aku lihat itu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,… 11. Ada 11 anggota DPR yang menolak kenaikan cukai. Ada sebelas, bayangkan. Dan dari sepuluh partai yang ada di parlemen, paling gak 7 partai at least punya 1 orang yang bicara atas nama industri. Nah ini kan tekanan yang luar biasa ya…”
Mouhamad Bigwanto mengatakan kebanyakan anggota parlemen tersebut berasal dari daerah-daerah industri tembakau berada.
“Kebetulan aku research, mayoritas kecuali dari 1 orang, itu di tempat dimana petani tembakau ada konstituennya. Jadi kelihatan petanya, oh kenapa mereka mendukung ini, karena mereka ingin dapat suara dari konstituennya, atau mungkin ya mereka dibantu sama industri. Kemungkinan ya… Ini kayak bukan ko insiden gitu loh. Karena semua yang ngomong itu ya di wilayah-wilayah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara, Nusa Tenggara Barat gitu…” pungkas pria yang juga aktif di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia itu.
Selama kontestasi pemilihan Presiden 2019 berlangsung, anggota parlemen dari barisan capres – cawapres 01 dan 02, lantang menolak kenaikan cukai rokok. Meski larangan berbicara soal rokok dibantah oleh kedua kubu, isu pengendalian tembakau selama masa kampanye seolah mati angin. Pun begitu saat rangkaian program debat capres dan cawapres berlangsung. Isu pengendalian tembakau senyap.
Pada 21 Mei 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis hasil pilpres. Pasangan pemenang siap memimpin negeri ini, juga anggota parlemen yang siap melenggang ke Senayan menjadi wakil rakyat. Sepanjang intervensi industri rokok mengakar di parlemen dan istana, upaya pengendalian tembakau sepertinya masih jauh panggang dari api.
Namun tidak ada yang mustahil, upaya pengendalian tembakau di Indonesia mesti terus berjalan demi kemaslahatan bersama. Seperti diutarakan Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II, saat meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengaksesi konvensi WHO soal pengendalian tembakau …
“When I asked him to please to access, he said yes, but there’s something happened, we don’t know, so in my opinion, nothing is impossible, everything is possible, depend, insya Allah…..” kisah Nafsiah Mboi.
Ya. semuanya mungkin, termasuk kuasa industri rokok di Indonesia…