FGD Fakultas Hukum UKI Dorong Urgensi Undang-Undang Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Written by on 21 August 2025

Jakarta, RPKFM – Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penyelesaian Tindak Pidana Melalui Undang-Undang Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu (20/8) di Ruang Seminar Lantai 3 Gedung AB UKI, Cawang, Jakarta, dan menghadirkan para akademisi serta praktisi hukum yang menyoroti urgensi kehadiran undang-undang khusus mengenai Restorative Justice (RJ).

Kebutuhan Mendesak Aturan Lex Specialis RJ

Acara diawali dengan sambutan Dekan Fakultas Hukum UKI, Dr. Hendri Jayadi, SH, MH. Ia menekankan bahwa penyelenggaraan FGD ini berangkat dari kerinduan untuk menghadirkan solusi atas permasalahan klasik sistem peradilan pidana di Indonesia, salahsatu contoh terkait persoalan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.

“Restorative justice adalah kunci, contoh bagian dari solusi untuk persoalan over crowded penghuni lapas. Konsep ini sejatinya bukan hal baru, sebab lembaga adat di Indonesia juga telah lama menerapkannya. Namun regulasinya saat ini tersebar dalam berbagai aturan teknis. Karena itu, alangkah baiknya jika ke depan RJ diatur dalam satu ketentuan hukum yang bersifat lex specialis,” ujar Hendri. Ia berharap FGD ini dapat menjadi dasar lahirnya naskah akademik bagi pembentukan Undang-Undang RJ.

Fakultas Hukum UKI Ingin Beri Kontribusi Nyata

Selanjutnya, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Inovasi UKI, Dr. Hulman Panjaitan, SH, MH, secara resmi membuka kegiatan. Hulman menyebutkan bahwa topik RJ sangat relevan, terutama di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang RJ yang sudah masuk dalam agenda nasional.

“Sejak dulu Fakultas Hukum UKI selalu peka terhadap isu-isu hukum nasional, baik revisi UU KPK, omnibus law, hingga KUHP nasional. Melalui FGD ini, UKI ingin memberikan kontribusi nyata berupa masukan bagi pemerintah agar dapat menghasilkan regulasi RJ yang komprehensif,” ujarnya.

Hulman juga menyoroti persoalan praktik di lapangan, di mana meskipun sudah ada perdamaian antara pelaku dan korban, masih ditemukan kasus yang tetap diproses hingga persidangan. “Ini menunjukkan bahwa tanpa aturan khusus, penerapan RJ masih berjalan parsial dan menimbulkan pertanyaan tindak pidana apa saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme ini,” tambahnya.

RJ dalam Perspektif Global dan Nasional

Sebagai narasumber pertama, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menegaskan bahwa RJ bukan sekadar isu nasional melainkan bagian dari gerakan global untuk memulihkan keadilan.

“Tahun ini RJ masuk dalam Prolegnas, tetapi pergerakannya masih lambat. Padahal di seluruh dunia, masyarakat ramai membicarakan RJ meskipun penuh pro dan kontra. Pertanyaannya, RJ seperti apa yang kita maksud? Spektrumnya luas, mulai dari diplomasi perdamaian dunia sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945, hingga penyelesaian konflik sosial di tingkat lokal,” papar Eva.

Ia menekankan bahwa definisi tindak pidana yang dapat diselesaikan lewat RJ harus jelas. Misalnya, apakah kasus narkotika atau pelanggaran HAM berat dapat masuk dalam mekanisme RJ? “Basic principle dari program RJ adalah adanya hak dan kewajiban baik dari pelaku maupun korban, dengan dukungan negara untuk memulihkan kerugian. Inilah yang harus diatur dalam RUU RJ,” ungkapnya.

RJ Sebagai Konsep dan Proses

Narasumber kedua, Dr. Morus Maxine Sianipar, SH, MH, dosen FH UKI, menyoroti aspek legislasi RJ. Ia menjelaskan bahwa Indonesia secara resmi mengadopsi RJ melalui Sistem Peradilan Pidana Anak pada 2012, dan terbaru melalui Peraturan Mahkamah Agung (2024).

“RJ harus dipahami dalam dua hal, yaitu sebagai konsep dan sebagai proses. Sebagai konsep, RJ meninggalkan paradigma pidana konvensional yang retributif. Sebagai proses, RJ menekankan penguatan korban, agar tercipta pemulihan hubungan dan reintegrasi sosial,” jelas Morus.

Ia juga mengusulkan definisi RJ sebagai pendekatan partisipatif-dialogis antara pelaku, korban, dan masyarakat dengan dukungan negara, yang menekankan pemulihan tanpa mengutamakan pembalasan. Adapun tindak pidana yang bisa diselesaikan melalui RJ antara lain tindak pidana ringan, tindak pidana ITE, kasus narkotika (kategori pecandu atau korban penyalahgunaan), serta tindak pidana delik aduan seperti KDRT.

Dalam penutupnya, Morus mengingatkan pentingnya tiga elemen menurut teori Lawrence M. Friedman: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. “Efektivitas RJ bergantung pada keterpaduan ketiganya,” katanya.

Filosofi RJ sebagai Mercy Punishment

Beberapa catatan narasumber yang mengemuka dalam FGD ini adalah bahwa RJ bukan sekadar prosedur hukum, melainkan nilai yang telah hidup dalam budaya masyarakat dunia. Filosofinya adalah mercy punishment atau mekanisme pemaafan, yang bertujuan memulihkan harmoni sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pemulihan ini tidak selalu berupa materi atau ganti rugi, melainkan lebih pada perbaikan hubungan sosial.

FGD juga menekankan pentingnya riset mendalam untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat terhadap RJ. Pengalaman dari konflik sosial, kegagalan pembentukan UU KKR, hingga peran lembaga adat yang kini kembali dihidupkan lewat perda, menjadi bahan pembelajaran berharga. UKI sebagai lembaga pendidikan diharapkan berperan aktif dalam riset dan need assessment terkait RJ.

Selain itu, harmonisasi regulasi menjadi poin penting. RJ dipandang sebagai nilai yang harus termanifestasi dalam berbagai peraturan, proyek, maupun program hukum. FGD ini memberikan landasan untuk menyusun rekomendasi akademik yang dapat menjadi pijakan bagi pembentukan Undang-Undang Restorative Justice di Indonesia.

(Daniel Tanamal)


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL