Di Sini, “Everyday is Holiday”
Written by rpkfm on 12 July 2016
Mapan di kota besar, Edward Tigor Siahaan lalu memutuskan kembali ke kampung halaman. Dekat pula dengan daerah wisata kawasan Danau Toba. Akhirnya, serasa liburan setiap hari, deh.
Waktu tiga puluh tahun sudah lebih dari cukup bagi Tigor melanglang buana di perantauan. Dia tinggalkan gemerlap dan kemewahan ibukota Jakarta. Matanya tak disilaukan lagi dengan gedung-gedung pencakar langit dan pusat-pusat perbelanjaan yang memanjakan mata. Hanya sesekali saja, kalau ada urusan bisnis atau penting lainnya, dia bertolak ke Jakarta. Kalau kini, Tigor –begitu sapaannya– berganti menikmati pesona alam khas kampung di Desa Lobu Siregar, Siborong-borong, Tapanuli Utara.
Sementara itu juga, ke Danau Toba, yang keindahannya telah tersiar ke berbagai penjuru dunia tak lagi mahal bagi Tigor. Sepelemparan batu saja dari rumah yang diberi nama “Piltik House”, maka terhamparlah Danau Toba, danau terbesar di Indonesia. “Motto kami di sini, ‘everyday is holiday’,” ujar Tigor dengan tawa berderai saat mengobrol seputar urbanisasi di program OBSESI edisi Selasa, 12 Juli 2016.
Tigor mengatakan mudah saja baginya meninggalkan ibukota lalu saat ini menetap di kampung halaman karena sejak awal pertama kali berangkat merantau sudah berkomitmen dengan janji akan kembali membangun tanah kelahirannya. Bahkan, beberapa buku diterbitkannya untuk menunjukkan pada dunia betapa Danau Toba dan kawasan sekitarnya begitu indah dan memesona.
“Dulu, ketika pertama kali berangkat merantau, saya sudah putuskan bahwa pada suatu saat akan kembali ke kampung halaman. Lalu saya tetapkan mewujudkannya pada tiga tahun lalu,” terang Tigor.
Mematahkan Horor Pulang Kampung
“Buat apa pulang kampung?”. “Apa, sih, yang bisa diharapkan dari kampung halaman yang tertinggal jauh dari kota tempat merantau?”. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terlontar ketika berdiskusi seputar meninggalkan kota dan kembali ke desa. Yang terbayang adalah horor permasalahan ekonomi dan ragam fasilitas yang terbatas.
Tapi, lihatlah Tigor. Di kampung, bukan berarti keadaan Tigor beserta istri dan kedua anaknya menjadi terpuruk seolah telah gagal bersaing mencari peruntungan di rantau. Malah, Tigor dan keluarga bisa melakukan banyak hal yang tak sempat dikerjakan di ibukota.
“Kami buka kursus bahasa Inggris gratis, lho. Kami juga kampanye menjaga lingkungan hidup. Sekarang, takkan lagi menjumpai sampah yang dibuang sembarangan di sini,” tutur Tigor yang berprofesi sebagai fotografer mengklaim.
Lalu bagaimana dengan sumber penghasilan Tigor? Apakah ekonomi keluarganya menjadi terganggu? Apalagi mengingat kursus bahasa Inggris yang dibuka pun tanpa pungutan biaya alias gratis. Ternyata tak seburuk seperti yang ditakutkan banyak orang ketika mempertimbangkan untuk kembali ke kampung halaman.
Tigor tetap bisa menjalankan profesi sebagai fotografer seperti yang digelutinya selama ini. Di atas sebagian kecil dari sekian luas lahan warisan orangtua didirikannya “homestay” untuk turis lokal atau asing yang membutuhkan penginapan saat berwisata ke Danau Toba dan kawasan sekitarnya.
Anak-anaknya pun betah di kampung. Tak gelisah sekalipun tak menikmati lagi keramaian dan segala kemewahan yang diperlihatkan ibukota. “Sejak anak-anak masih kecil, saya sudah perkenalkan kampung dan tanah leluhur mereka. Setiap ada kesempatan, saya ajak berkunjung ke kampung,” kata Tigor.
Jadi, siapa mau menyusul Tigor kembali ke kampung halaman? Ada yang mau? rik