Mahalkan Rokok untuk Lindungi Anak-anak!
Written by rpkfm on 6 August 2018
Salah satu target upaya pengendalian tembakau adalah perlindungan anak-anak. Anak-anak adalah generasi penerus yang akan menentukan kebesaran sebuah bangsa. Segala hal yang tidak baik untuk anak-anak dalam masa pertumbuhannya harus dicegah. Begitu juga dari serbuan industri rokok yang sangat masif terhadap anak sebagai target rentan, harus segera dihentikan.
Prevalensi perokok anak di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat; dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016 (Sirkesnas, 2016). Sebanyak 75,7% perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun, jumlahnya mencapai 16,4 juta dan yang paling tinggi adalah kelompok usia 15-19 tahun. Namun kecenderungan ini mulai bergeser ke usia yang lebih muda, yaitu kelompok usia 10-14 tahun, dalam kurun waktu 10 tahun ini, trennya meningkat dua kali lipat (Susenas 1995, 2004, SKRT 2001, Riskesdas 2007, 2010, 2013 dan BPS Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035). Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1% setiap tahunnya.
“Dukungan kepada pemerintah sangat dibutuhkan saat ini agar pemerintah tidak ragu-ragu mengambil keputusan yang tegas dan segera dalam melindungi anak dari serbuan rokok. Mari kita dukung pemerintah untuk dengan tegas mengatasnamakan kepentingan anak daripada kepentingan industri dalam pembuatan regulasi,” ajak Mia Hanafiah, Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau, kepada seluruh peserta saat membuka diskusi publik hari ini di Jakarta.
Maraknya iklan, promosi dan sponsor rokok meningkatkan persepsi positif anak-anak terhadap rokok dan mempengaruhi keinginan untuk merokok sehingga 46% remaja berpendapat iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok (Studi Uhamka dan Komnas Anak tahun 2007). Selain itu, harga rokok yang murah, bisa dibeli ketengan dan tersedia di mana saja semakin mempermudah keterjangkauan anak-anak terhadap rokok. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, Indonesia termasuk harga rokoknya lebih terjangkau (affordable) (Atlas Tobacco ASEAN, SEATCA 2014).
Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa anak-anak menjadi target industri rokok, untuk menjadikan mereka sebagai pelanggan setia di masa depan. Pada 2014, secara mencengangkan Yayasan Lentera Anak, Smoke Free Agents, dan Yayasan Pemerhati Media Anak menerbitkan hasil penelitian mereka yang menunjukkan bahwa industri rokok sengaja menarget anak-anak dengan meletakkan iklan-iklan produk mereka di sekitar sekolah. Pada 2017, Lentera Anak kembali menerbitkan hasil observasi mereka yang menunjukkan bahwa industri rokok saat ini memakai strategi berpromosi mengiklankan produknya dengan mencantumkan harga rokok (82%) bahkan mencantumkan harga rokok per batang (79%) untuk memperlihatkan betapa murahnya harga produk mereka sehingga terjangkau kantong anak-anak (sekolah).
Belum lama ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) juga menerbitkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa rokok juga memicu stunting atau gagal tumbuh. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor langsung konsumsi rokok yang dilakukan oleh orang tua anak stunting dan faktor tidak langsung akibat belanja rokok yang menyebabkan berkurangnya asupan gizi keluarga terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
“Industri rokok punya dua senjata dalam menargetkan anak muda; pertama dengan iklan yang megah, yang kedua dengan harga yg murah meriah. Bujuk rayu melalui dua instrumen tersebut yang membuat prevalensi perokok anak tak kunjung turun sampai detik ini. Harus ada regulasi kuat untuk menghentikan bidikan industri kepada anak-anak. Kalau tidak, bonus demografi atau indonesia emas 2045 hanya akan menjadi diksi indah pemerintah saja,” jelas Iman Mahaputera Zein, Yayasan Lentera Anak.
“Kesulitan terberat adalah ketika orang tua justru gagal menjadi role model tentang perilaku antirokok. Kampanye antirokok sedahsyat apa pun bakal terkulai begitu ayah bunda justru perokok. Juga seberapa jauh sikap dan perilaku antirokok terbangun dalam pendidikan karakter anak, utamanya di sekolah? Butuh gedoran kuat untuk membangkitkan keinsafan akan hal ini. Gedoran berbasis sistem dan regulasi yang menyasar dua lingkungan utama: rumah dan sekolah,” ujar Reza Indragiri Amriel, Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
menambahkan.
Di sisi lain, Indonesia tengah digerus tak henti-henti di bidang ekonomi akibat dampak konsumsi rokok. Setiap tahun, Indonesia menderita kerugian ekonomi makro sebesar 596 triliun rupiah atau empat kali jumlah cukai rokok di tahun yang sama (Balitbang Kementerian Kesehatan, 2015), termasuk di dalamnya beban ekonomi untuk belanja rokok, biaya kesehatan, dan total kehilangan tahun produktif. Padahal beberapa tahun terakhir, Badan Pusat Statistik telah menunjukkan bahwa belanja terbesar kedua pada keluarga miskin adalah rokok. Ini membuktikan bahwa kerugian terbesar akibat konsumsi rokok tidak hanya di sisi kesehatan namun juga ekonomi.
Dari fakta-fakta yang diperlihatkan dalam diskusi ini, para peserta diskusi setuju bahwa keadaan saat ini sudah sangat mendesak untuk adanya aturan yang kuat demi melindungi anak-anak Indonesia dari serbuan rokok, salah satunya dimulai dengan kenaikan cukai secara signifikan agar harga rokok menjadi mahal sehingga anak-anak tidak membeli rokok.
“Anak harus dilindungi dari asap, iklan, promosi, maupun sponsor rokok. Anak berhak mendapatkan kualitas udara bersih untuk menjamin proses tumbuh kembang mereka. Rokok merupakan bahaya laten bagi anak yang dapat merenggut kesehatan anak di masa depan. Dampak konsumsi rokok baru akan dirasakan 15-20 tahun mendatang, saat anak-anak mencapai usia produktif. Jika permasalahan rokok terus dibiarkan maka Indonesia akan terus mendapatkan berbagai ancaman bagi masa depan bangsanya. Yaitu ancaman kesehatan dan juga ancaman untuk tidak dapat menikmati bonus demografi pada tahun 2020-2030 dan kehilangan Generasi Emas pada tahun 2045. Untuk itu, Negara bersama masyarakat harus bersama-sama melindungi anak dari rokok,” tutup Lenny Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam diskusi tersebut.