Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2018: Kondisi Kesehatan Jiwa Remaja Memprihatinkan
Written by rpkfm on 10 October 2018
Setiap tanggal 10 Oktober, Indonesia bersama dengan banyak negara di dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Dunia pertama kali memperingati Hari Kesehatan Jiwa pada tahun 1992, yang diinisiasi oleh World Federation for Mental Health. Adapun misi peringatan tersebut adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan advokasi masyarakat dunia mengenai kesehatan jiwa.
Secara nasional, Indonesia baru mencanangkan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia sejak 1993. Melalui peringatan tersebut, selain misi dunia, bangsa ini juga hendak menghormati hak Orang Dengan Masalah Kejiwaan atau ODMK dan mendekatkan akses kesehatan jiwa pada masyarakat. Tahun ini, Indonesia kembali memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia dengan tema internasional, Generasi Muda Yang Bahagia, Tangguh, dan Sehat Jiwa Menghadapi Perubahan Dunia.
“Tahun ini kita mengangkat tema remaja, jadi usia 15 sampai 19 tahun. Mengapa? Karena 16% dari global burden of diseases itu terjadi pada usia remaja, termasuk karena kecelakaan. Kita peduli untuk mencegah kematian dini, sesuai dengan target SDG’s. Untuk itu, kita harus mendeteksi dan mengenali perilaku dini yang berisiko dini terkait kesehatan jiwa,” ujar dokter Eka Viora, Sp.KJ. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat.
Lebih lanjut, dokter Eka Viora mengatakan bahwa secara global, depresi adalah satu dari penyebab penyakit dan disabilitas pada remaja. Juga bunuh diri merupakan penyebab ketiga terbesar kematian pada usia 15-19 tahun atau rentang usia remaja…
“Perilaku berisiko yang sering terjadi menimbulkan kematian di usia dini, antara lain melukai diri atau suicide atau bunuh diri yang terjadi karena depresi pada remaja itu umumnya tidak dikenali atau diterapi dengan baik, akhirnya ini berlanjut, ini bisa berisiko besar untuk terjadinya bunuh diri,” ujar dokter Eka Viora. “Kemudian masalah yang terkait dengan perilaku berisiko tinggi misalnya penyalahgunaan napza dan alkohol. Kita tahu saat ini remaja kita, termasuk dewasa muda, yang mengonsumsi miras oplosan. Itu menjadi konsen kita, karena ini bisa berdampak pada perilaku bunuh diri. Juga dampak yang disebabkan oleh kekerasan pada remaja.”
“Kami dari profesi sudah mengadaptasi modul/pedoman tersebut, dan ini menjadi bahan untuk dokter-dokter umum dapat kita latih di Puskesmas, sehingga remaja-remaja yang berpotensi bermasalah kesehatan jiwanya, dapat dikenali dengan baik secara dini. Karena di dalam penyakit yang bisa ditanggulangi di Puskesmas ada 11 penyakit, termasuk gangguan-gangguan jiwa yang beromzet pada usia remaja. Misalnya intervensi yang berbasis keluarga, bagaimana pola asuh yang baik dalam keluarga, sehingga remaja tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah rentan terhadap berbagai situasi lingkungan. Misalnya intervensi yang berbasis sekolah. Itu semua adalah intervensi yang kami lakukan (sesuai dengan Mental Health Global Action Program) sebagai upaya promotif, termasuk deteksi dini masalah kejiwaan pada usia remaja,” papar dokter Eka Viora.
Terkait dengan upaya promotif dan preventif seputar kesehatan jiwa di Indonesia, Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si berharap pemerintah dapat memfasilitasi sosialisasi kesehatan jiwa di lembaga pendidikan formal, seperti di sekolah.
“Sehingga seluruh stakeholders pendidikan, guru, orangtua dan petugas-petugas sekolah, itu paham betul. Saya kira suasana yang harmonis dan supportif di lingkungan sekolah menjadi sangat penting untuk mendukung sebuah kesehatan mental yang baik bagi remaja dan pemuda. Juga wadah-wadah untuk berkegiatan secara positif, karena pemuda juga membutuhkan kegiatan yang ada unsur fisiknya, saya kira kegiatan-kegiatan seperti kepramukaan, palang merah remaja, keolahragaan, kesenian dan pencinta alam, dan lain-lain, perlu mendapat tempat yang lebih banyak,” kata Psikolog Gamayanti.
Bicara soal masalah kejiwaan di lembaga pendidikan formal, kita menemukan fakta memprihatinkan dari sisi masalah kejiwaan. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan, sekitar 84% siswa mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah, sekitar 40% siswa berusia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya. Sekitar 45% siswa laki-laki menyebut bahwa guru dan petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. Juga sekitar 50% siswa melaporkan telah mengalami perundungan atau bullying di sekolah….
Untuk itu, Kementerian Kesehatan memandang keluarga Indonesia kurang memahami tantangan kesehatan jiwa generasi muda, khususnya para remaja. Hal tersebut berakibat pada gagalnya keluarga menjadi tempat yang aman buat generasi muda. Hal tersebut diamini Doktor Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, yang menyebut bahwa sangat disayangkan makin banyak remaja yang tidak memiliki tempat yang aman dan nyaman untuk bereksplorasi secara mental. Mestinya, menurut Gamayanti, tempat itu adalah keluarga.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, dokter Anung Sugihantono, M.Kes. mengatakan bahwa pemerintah saat ini tengah menjalankan program pembangunan Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga untuk mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa dalam keluarga. Dalam program tersebut, pemerintah mendapatkan angka yang cukup memprihatinkan.
“Meski belum bisa menggambarkan secara keseluruhan dari persoalan yang ada di Indonesia, saya katakan cukup memprihatinkan karena saat ini sekitar 15 juta rumah tangga yang sudah dikunjungi oleh tenaga kesehatan dalam konteks program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga, ada persoalan orang dengan gangguan jiwa berat di rumah tangga angkanya sekitar 15%. Jadi terbayang ada sekitar 225 ribu rumah tangga yang di dalam rumah tangga ada orang dengan gangguan jiwa,” papar dokter Anung.
Secara epidemiologi, menurut Dirjen Anung, saat ditemukan satu orang dengan gangguan jiwa, maka kemungkinan besar ada 5 sampai 10 orang dengan masalah kejiwaan di sekitarnya. Hal itu bisa terjadi pada anggota keluarganya yang menjadi asosial misalnya, jelas Anung.
Terkait dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober di Indonesia, dokter Anung berhadap hal itu dapat menjadi sarana promotif buat semua orang terkait kesehatan jiwa.
“Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ini dimaksudkan juga untuk menumbuhkan perhatian sekaligus juga untuk memberikan atensi bahwa persoalan kesehatan jiwa ini bukan persoalan individu, tapi juga persoalan komunitas yang harus kita pecahkan secara bersama-sama. Media memiliki peran yang cukup strategis dalam mendorong komunitas menaruh bukan hanya kepedulian, tapi juga tanggung jawab sosial untuk meningkatkan pemahaman tentang kesehatan jiwa,” pungkas Dirjen Anung.
Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009, adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun ekonomis. Karena itu, tidak akan ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Mens sana in corpore sano…
Selamat Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2018!