Melawan Abai: Bahaya Laten Rokok Ketengan di Indonesia

Written by on 31 May 2019

Senyap dan pasti, industri rokok mengeksploitasi anak dan remaja Indonesia. Industri menjerat anak dan remaja dengan harga rokok yang murah dan mudah diakses di mana saja. Rokok ketengan di warung pinggir jalan hingga pedagang asongan.

Awal 2019, Radio Pelita Kasih RPKFM Jakarta turun ke beberapa sekolah menengah atas di Jakarta untuk memotret kecenderungan remaja mengakses rokok di Jakarta. Seratus lebih anak remaja usia 16 sampai 18 tahun berhasil diwawancarai mengenai preferensi mereka membeli rokok dan alasannya. Hasilnya, sebagian besar memilih untuk membeli rokok secara ketengan dengan alasan tidak punya uang banyak.

(“Kalau beli rokok yang ketengan atau bungkusan? Ketengan. Alasannya? Karena kantong saya masih kantong pelajar” “Kalau bungkusan ya mahal lah 20 ribu sehari” “Biasanya beli rokok ketengan, karena lebih murah” “Kalau batangan itu mudah diumpetin cok” “Gue udah ngerokok dari SMP itu dulu awal sih pete pete berarti keteng lah keteng, belum nyanggupin yang bungkusan” “Saya biasanya ketengan, karena ada uangnya cuma segitu mas” “Ya kalau beli ketengan, jarang megang duit banyak makanya bisanya beli ketengan doang” “Yang ketengan, karena kita kan belum kerja, belum kerja itu kan belum punya duit, jadi belinya ketengan” “murahlah menurut gue mah, jadi kalau beli bungkusan mah agak mahal, jadi uang gue juga gak bisa beli yang bungkusan” “Sebenarnya sih jujurnya saya lebih suka bungkusan, tapi tergantung keuangan, kalau keuangan lagi menipis, mau gimana lagi, ya ketengan” “Ketengan gue bang, ya duit gue mah kurang memadai kalau beli sebungkus mah” “Lebih irit, soalnya kalau beli sebungkus nih boros, loe setiap berhenti beli rokok beli rokok, kan kalau keteng, kalau kagak ada duit, satu satu jadi lebih irit” “Ketengan, ya nyesuain kantong aja kita mah”)

Demikian sejumlah komentar anak-anak tanggung yang masih sekolah. Mereka sadar belum bekerja, masih sekolah dan masih mengandalkan uang jajan dari orangtua. Bahkan meski mengaku berasal dari keluarga berpenghasilan pas-pasan, Anna, remaja berusia 18 tahun, tetap membeli rokok demi melepas stress usia remaja.

(RPK) “Kalau beli rokok yang bungkusan atau yang ketengan?” (Anna) “Yang ketengan lah…” (RPK) “Alasannya kenapa tuh?” (Anna) “Yang lebih murah lah, eh gimana yak? Gue kan dari keluarga yang kurang mampu ye, jadi gue bisa beli satu dua aja gue seneng yang penting gua bisa melampiaskan stress gua…,” kisah Anna kepada RPKFM.

Hasil liputan RPKFM juga memotret bahwa banyak anak remaja memulai merokok sejak di bangku SMP. Bermula dari rokok ketengan, sampai memaksakan diri membeli satu hingga dua bungkus per hari. Arya, remaja salah satu siswa SMK swasta di Jakarta tak peduli ancaman kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok. Setiap hari dia tetap membeli dan menghisap rokok.

((Arya) “Soal gimana ya banyak sih orang yang ngerokok, ngerokok gak ngerokok mati, jadi loe ngerokok aja ampe mati. Loe juga ngerokok gak kalau gue tanya?” (RPK) “Gue gak ngerokok gue baru coba-coba doang…” (Arya) “Ya coba-coba entar ketagihan loe kayak gue. Gue juga awalnya coba-coba” (RPK) “tapi gue coba-cobanya pas SMP sih…” (Arya) “Oh, ya udah berarti sekarang cobain lagi biar ketagihan,…” (RPK) “Ah gak dah..”))

Anna dan Arya, dua remaja mewakili jutaan anak Indonesia yang saat ini sudah kecanduan rokok. Awal mulanya, mereka mudah membeli rokok karena menjual rokok eceran tidak dilarang di Indonesia.

Wakil Kepala Pusat Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan menyebut rokok murah dan dapat dijual ketengan merupakan umpan utama industri rokok untuk menarik perokok baru.

“(dengan) Uang dua ribu sudah bisa mencoba rokok, dimana kita tahu sendiri bahwa rokok menimbulkan kecanduan, katakanlah dia dua ribu rupiah, bisa beli tiga, kemudian dia coba, dan kemudian merasakan nikmatnya, karena kecanduannya karena ada nikotinnya, maka dia akan terperangkap, akan terjebak. Jadi ini adalah pemancing utama dari industri rokok untuk menggaet perokok-perokok baru. Dan ini sangat membahayakan ya, sangat membahayakan ekonomi rumah tangga, karena nanti uangnya dihabiskan untuk beli rokok, ya latihannya dari sini, latihannya beli ketengan…,” ujar Abdillah Ahsan.

Fenomena penjualan rokok secara ketengan secara tak langsung merupakan jerat kemiskinan yang ditebar industri rokok di Indonesia. Wakil Ketua Forum Warga Kota Jakarta FAKTA, Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan…

“Jadi ketika mereka mau keramas, mereka belinya yang sachet, untuk rokok itu sama, sayang kalau beli satu pak, mereka belinya biasanya ketengan, sehingga sebetulnya dari sisi ekonomi mereka membeli lebih banyak ketimbang masyarakat lain yang membeli barang konsumsi yang sama. Jadi kalau orang beli botol sampo, satu botolnya berapa mili, berapa rupiah, tapi ketika mereka beli sachet sebetulnya mereka beli ekstra karena ada kemasan sachetnya. Begitu juga dengan rokok, kalau rokok dikonsumsi satu pak harganya sekian, tapi kalau ketengan, pasti kalau ditotal jumlah batangnya, pengeluaran yang mereka keluarkan jauh lebih besar, nah itulah sebetulnya jerat kemiskinan mereka begitu…”

Selain membahayakan ekonomi keluarga, Abdillah Ahsan juga menuding pembiaran terhadap penjualan rokok secara ketengan merupakan upaya industri rokok melemahkan aturan Peringatan Kesehatan Bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW) yang ada di bungkus rokok.

“Ya itulah salah satu strategi dari industri rokok, dengan menjual ketengan, tentu saja peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok tidak akan dilihat, ya kalau gak dilihat ya gak ada gunanya, dan itu maunya industri seperti itu. Di samping itu, itu mendorong konsumsi di kalangan mereka yang terbatas pendapatannya, seperti anak-anak dan orang miskin,” papar Abdillah Ahsan.

Anak dan remaja di Indonesia secara terang-terangan menjadi target investasi jangka panjang industri rokok untuk menelurkan para perokok, penikmat produk adiktif mereka di masa yang akan datang. Dari hasil wawancara kami dengan para remaja sebelumnya ditemukan bahwa kebanyakan dari mereka mengaku peringatan bergambar tidak berpengaruh karena mereka sudah ketagihan.

Lalu bagaimana dengan pemerintah? Institusi yang mestinya melindungi rakyat Indonesia dari bahaya laten rokok ketengan. Adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, menjadi ujung tombak pengendalian tembakau di Indonesia. Namun, menurut Tubagus Haryo Karbyanto dari FAKTA, PP tersebut tidak secara tegas melarang penjualan rokok secara ketengan.

“Karena tidak ada pengaturan lebih lanjutnya, sehingga itulah yang menjadi gamang sebetulnya ketika pelarangan… sebetulnya tidak ketengan, tapi minimal 20 batang, itu yang tertera di PP 109 tahun 2012. Memang persoalannya adalah di PP itu tidak secara eksplisit juga memandatkan, ketika itu mau ditegakkan siapa yang harus menegakkan. Logikanya sih sebetulnya Pemda-Pemda. Nah Pemda harus punya landasan yang cukup kuat lagi. Di beberapa Pemda, mereka mencantumkan hal itu secara eksplisit di Perda-Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok mereka…,” kata pria berkacamata yang juga aktif di Bidang Hukum dan Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau.

Baik Tubagus Haryo maupun Abdillah Ahsan, sama-sama sepakat bahwa pemerintah harus melarang penjualan rokok secara ketengan. Larangan yang dulu ada pada saat PP 109 masih menjadi rancangan. Namun kemudian lenyap saat prosesnya masuk dalam pembahasan antar lembaga dan kementerian negara. Para pegiat pengendalian tembakau menyebut adanya kompromi dengan industri rokok, sementara Kementerian Kesehatan mengaku belum ada kesamaan sudut pandang bahwa rokok itu membahayakan kesehatan anak bangsa.

“Bukan belum sepakat, kita tak membuat kesepakatan, tapi sudut pandangnya sama bahwa merokok itu merugikan. Itu sudut pandang dulu, kalau sudah ngomong merokok itu merugikan maka kemudian kita baru ngomongin berbagai hal yang efektif untuk mengurangi kerugian…,”

Demikian Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono. Kementerian Kesehatan pun menuding mudahnya akses dan murahnya harga rokok menjadi pemicu pertambahan jumlah perokok muda di Indonesia.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, prevalensi merokok pada anak berusia 10 hingga 18 tahun mencapai 9.1%. Data tersebut naik tajam dari RISKESDAS 2013, sebesar 7.9%. Jauh dari target pemerintah di tahun 2019, sebesar 5.4%. Jangan abaikan fenomena bebasnya rokok dijual ketengan, karena bila tak dilarang, kemungkinan target pemerintah untuk Indonesia Emas 2045 akan menjadi Indonesia Cemas 2045.


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL