PEREMPUAN DI PUSARAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Written by rpkfm on 11 November 2019
Sependek pengamatan yang saya lakukan di beberapa jemaat dan gereja di Indonesia, jumlah anggota jemaat perempuan lebih banyak dibandingkan yang laki-laki. Kenapa bisa begitu? Entah! Saya belum pernah melakukan penelitian dan juga belum pernah menemukan penelitian tentang hal tersebut.
Namun, jumlah yang lebih banyak tak selalu berbanding lurus dengan peran yang dimainkan. Bukan rahasia lagi bahwa pola patron klien di dalam kehidupan bergereja di Indonesia masih kuat. Bahwa ada bagian-bagian yang dipercayakan kepada perempuan, belum menjadi bagian yang sama banyak dengan laki-laki.
Ada banyak alasan yang dapat dipaparkan untuk menjelaskan hal tersebut.
Pdt. A.A. Yewangoe, dalam pertemuan dengan para mahasiswa teologi di Ambarawa sekitar tahun 1989, mengatakan bahwa bila kaum perempuan hendak berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bergereja, maka mereka harus berjuang untuk mendapatkannya.
Peran itu bukan hal yang diberikan, taken for granted. Perempuan harus berjuang untuk mendapatkannya, bukan dengan menunggu diberikan oleh laki-laki sebagai bentuk iba. Hal ini sudah barang tentu menjadi keniscayaan.
Pdt. Albertus Patty, dalam Pra Sidang Raya PGI 8-13 November 2019 di Waingapu Sumba Timur NTT, memberikan ceramah dengan judul Demokrasi Cacat Jika Abaikan Perempuan. Dari ceramah ini jelas sekali disampaikan bahwa peran perempuan dalam kehidupan berdemokrasi, di Indonesia tentunya, tidak pernah boleh hanya ada di pinggiran. Itu berarti juga di dalam kehidupan bergereja.
Tentu saja kita dapat bergembira, sebab saat ini agak mudah untuk melihat dan menemukan beberapa perempuan yang berkiprah dalam kehidupan baik di dalam dan atau di luar gereja. Di Indonesia, sekarang ini, sangat mudah untuk menemukan pendeta perempuan. Sebagian dari mereka juga menjadi pemimpin dari berbagai organisasi gereja. Bahkan, Ketua Umum PGI periode 2014-2019 juga perempuan. Pdt. henriette Lebang adalah pendeta perempuan pertama yang jadi Ketua Umum PGI.
Semua itu tentu saja harus diterima sebagai fakta yang menyenangkan. Sebab itu berarti ada sangat banyak kemajuan dalam kehidupan bergereja, khususnya, di Indonesia. Namun, dalam Sidang Raya PGI kali ini, terseliplah persoalan terkait dengan peran perempuan.
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa salah satu agenda besar – bila bukan yang utama – dalam Sidang Raya PGI adalah pemilihan pengurus. Dari berbagai cerita yang saya dapat, agenda ini selalu paling seru dibandingkan dengan agenda lain. Saya tak akan bersoal dalam hal ini. Pokok persoalannya adalah justru pada ketiadaan calon perempuan pada posisi yang sentral : Ketum dan Sekum.
Apakah memang tak ada pendeta perempuan di Indonesia yang mumpuni untuk menjadi calon Ketum dan atau Sekum PGI? Jangan juga kemudian menempatkan pendeta perempuan sekadar untuk memenuhi kuota, jadi pemanis, tanpa memerhatikan kapasitas dan kompetensinya.
desa 136 d
jan calvin pindo