Sahabat Bagi Semua! Mungkinkah?

Written by on 3 December 2019

Kohelet, mungkin satu-satunya tokoh di dalam Kitab Tua yang memberi perhatian khusus terhadap kematian. Baginya kematian harus disikapi secara serius, sebab kematian adalah akhir dari segala sesuatu. “…tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi”, tuturnya. Kematian adalah nasib bagi semua orang, tanpa pandang bulu.

Beratus tahun kemudian, para filsuf eksistensialis mungkin membaca tuturan Kohelet. Mereka pun tiba pada simpulan yang sama. Kematian adalah akhir dari segala sesuatu. Ia tak dapat ditawar, apalagi ditolak. Kematian adalah kecemasan yang tak terpermanai.

Namun, terhadap kenyataan itu, baik Kohelet mau pun para filsuf eksistensial tak menyerah. Bahwa kematian adalah akhir dari segala sesuatu dan itu tak terhindarkan justru membawa mereka pada kenyataan yang sangat mendasar. Bila besok orang mati, maka tak ada yang lebih baik selain menjalani hidup secara otentik, secara eksistensial : hidup sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, setepat-tepatnya.

Kitab Tua, pada saat yang sama, memberi ruang yang lebih luas untuk kehidupan. Sejak awal sampai akhir, kehidupan menjadi tema utama. Bahkan, Sang Khalik pun memberi diri untuk kehidupan semua mahluk. Ia yang tak terbatas bersedia untuk menjadi yang terbatas, demi kehidupan yang lebih baik.

Kehidupan seperti apa yang hendak diperjuangkan sehingga Yang Illahi sampai harus menjadi mahluk? Tak dapatkah ia melakukan dengan cara yang lain? Syukurlah, sekali pun Kitab Tua bukanlah buku sejarah, namun ia juga mencatat perjalanan dan kesaksian iman dari mereka yang menjalani semua ini dan sebagian menuliskannya.

Kematian pada dirinya adalah bagian dari seluruh mahluk. Hanya Sang Khalik yang kekal. Bila soalnya hanya sekadar pada kematian sebagai akhir dari seluruh kehidupan di dunia fana, tentu saja itu tak akan jadi masalah. Sebab bukankah memang hakikat dari setiap mahluk yang fana adalah berakhir pada kematian?

Soalnya adalah, dalam terang keyakinan [baca : iman], ada kematian yang justru membawa pemisahan setiap mahluk dari Sang Khalik. Kematian seperti ini bukanlah kematian yang diharapkan oleh setiap mahluk. Kematian yang memisahkan mahluk dari Sang Khalik adalah kehancuran, kerusakan, kebinasaan. Padahal kematian justru dihayati sebagai perpindahan dari kehidupan di dunia fana ke tempat yang kekal. Di tempat itu, yang insani bersatu kembali dengan Yang Illahi.

Secara sederhana, dalam diskursus agama-agama samawi, ketika orang tiba pada kematian mereka dihadapkan pada dua pilihan : masuk ke surga dan bersatu dengan Sang Khalik lalu menjalani kehidupan yang penuh dengan sukacita atau masuk ke neraka dan terpisah selamanya dengan Sang Khalik dan menjalani kehidupan yang penuh dengan kesengsaraan.

Apa yang jadi penyebab seseorang masuk surga atau masuk neraka bisa bermacam-macam. Kita tak akan membahas soal itu, sebab bukan itu tujuan tulisan ini dan juga bukan ranah penulis untuk menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka. [tetiba penulis ingat satu lagu Chrisye yang syairnya mengatakan : andai surga dan neraka tak pernah ada…..]

Desember bukan sekadar menjadi bulan terakhir di penghujung tahun. Bagi pemeluk agama Kristen, Desember disepakati sebagai bulan yang di dalamnya dikenang, dihayati, dan dirayakan peristiwa yang sangat penting : Sang Khalik menjadi mahluk, Yang Illahi menjadi insani, Yang Tak Terbatas menjadi terbatas. Sejarah mencatat dan orang mengenalnya dengan nama Yesus.

Tak ada yang mustahil bagi Yang Illahi untuk menjadi apa saja yang ia mau. Pun ketika ia berinkarnasi, menjadi daging, menjadi sama dan tinggal di antara manusia. Ini peristiwa yang supra rasional, melampaui segala akal.

Untuk apa Yang Illahi menjadi daging, mengambil rupa seorang manusia, tinggal di antara dan bersama manusia? Jawabnya sederhana saja dan jelas : untuk memastikan bahwa setiap manusia, setiap insan, setiap mahluk dapat memiliki hidup yang lebih baik. Yang menarik adalah bahwa kehidupan yang lebih baik itu bukan saja nanti di sebrang sana, melainkan sekarang di sini.

Apa artinya kehidupan yang lebih baik bila orang sudah mati? Sebab seperti kata Kohelet, tak ada orang yang tahu betul apa yang akan terjadi di dunia orang mati atau dunia yang akan datang. Jadi, sebaik-baiknya hidup adalah ketika orang dalam kehidupannya sekarang di sini dapat mengalami kepenuhan hidup.

Kepenuhan hidup adalah ketika setiap orang dapat menjalani hidupnya, baik sendiri-sendiri mau pun bersama dengan orang lain dan juga dengan seluruh mahluk yang ada di alam semesta, dengan gembira, bebas dari rasa takut, saling menghargai, saling menerima. Semua ini dikemas dalam satu prinsip : saling mengasihi.

Karena Yang Illahi sungguh amat mengasihi seluruh mahluk, maka ia memberi diri untuk ada bersama dengan seluruh mahluk, mengambil rupa seperti mahluk, hidup di antara para mahluk. Ia menempatkan diri sebagai sahabat bagi semua, sekali pun tak semua menerimanya sebagai sahabat.

Di bulan Desember inilah demonstrasi kasih Yang Illahi itu diawali secara penuh. Ia hadir ke dalam dunia, di antara para mahluk, dengan cara yang juga dikenal secara umum oleh seluruh mahluk di alam semesta. Ia pun menjalani kehidupan seperti semua mahluk pada umumnya. Inilah kasih itu.

Ini hanya awal. Puncak dari seluruh demonstrasi kasih itu ditunjukkan ketika ia memberikan nyawanya untuk menjadi tebusan bagi semua orang.

Atas seluruh peristiwa itulah, Yohanes – salah seorang penulis kabar baik – mengingatkan umat agar mereka meneladani Sang Guru. Keteladanan yang utama adalah dalam sikap saling mengasihi. Orang bisa saja, dan sangat mungkin, memusuhi kita. Namun, setiap pengikutnya dipanggil untuk tidak balas memusuhi mereka. Setiap pengikutnya dipanggil untuk meneladaninya dengan menjadi sahabat bagi setiap orang, sekali pun untuk itu orang harus kehilangan nyawanya.

“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya’, begitu Yohanes mengingatkan umat melalui mulut Yesus. “Kamu adalah sahabatku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu”, lanjutnya.

Dari tuturan itu jelas sekali bahwa panggilan untuk setiap orang yang menyebut dirinya sebagai pengikut Yesus adalah saling mengasihi. Kasih yang paling utama adalah kesediaan untuk mendahulukan orang lain, bahkan bila perlu memberikan nyawa bagi orang lain.

Ia memberi teladan bagi setiap pengikutnya. Ia menjadi sahabat bagi semua orang, dan ia menunjukkan dengan kesediaannya memberikan nyawanya bagi semua orang yang disebutnya sebagai sahabat.

Menjadi sahabat dari seseorang yang terkenal, sohor, tentu menjadi idaman banyak orang. Sederhana saja, dengan menjadi sahabat dari mereka yang sohor, tentu kita juga akan menjadi pesohor, dan mungkin juga dapat menikmati berbagai kemudahan dan kenikmatan.

Begitu juga dengan menjadi sahabat Yesus. Ia tidak menolak setiap orang yang hendak menjadi sahabat. Namun, menjadi sahabat itu ada prasyarat : kesamaan. Ya, kita hanya mungkin menjadi sahabat seseorang bila kita memiliki kesamaan dengan mereka yang akan menjadi sahabat bagi kita. Semua perbedaan tak akan membuat seseorang mengikat persahabatan. Perbedaan akan menjadi sumber permusuhan.

Untuk menjadi sahabat Yesus jelas ada prasyaratnya : melakukan yang ia perintahkan. Apa itu perintahnya? Saling mengasihi.

Di ujung tahun ini, seperti biasa di bulan Desember, orang-orang beragama kristen merayakan natal. Momen ketika Yang Illahi menjadi yang insani. Natal juga sudah jadi komoditas publik baik secara positip mau pun negatip. Positip ketika secara ekonomis memberikan penghasilan bagi banyak pihak. Negatip ketika peristiwa ini dicerap sebagai ancaman untuk sebagian orang.

Natal di Indonesia khususnya tak lagi jadi peristiwa yang mendatangkan kegembiraan. Tak ada lagi slogan damai di bumi. Natal justru identik dengan teror. Ketakutan marak di mana-mana. Persahabatan menjadi barang langka, sebaliknya permusuhan menjadi begitu kuat.

Ini tantangan bagi setiap orang yang masih menyebut diri sebagai pengikut Yesus dan hendak disebut sebagai sahabatnya. Apakah mereka bersedia untuk menjadi sahabat bagi setiap orang? Menjadi sahabat bagi mereka yang memusuhi, menjadi sahabat bagi mereka yang tak mau mengucapkan salam dan selamat, menjadi sahabat bagi mereka yang melarang penggunaan ornamen natal, menjadi sahabat dengan tak menaruh curiga kepada semua, menjadi sahabat dengan membuka pintu rumah ibadah seluas-luasnya bagi siapa pun, menjadi sahabat dengan bersikap ramah  [alih-alih menyiapkan seperangkat alat dan aparat keamanan].

Bila itu panggilannya, mungkinkah menjadi sahabat bagi setiap orang?

bahwa setiap orang akan berakhir pada kematian, itu keniscayaan sebagaimana ditegaskan Kohelet

namun, bajik dan bijakkah bila orang mengambil kehidupan sesamanya karena benci

jika itu memang mau mu

ambillah hidupku

asal benci mu berhenti di situ

jadilah sahabat bagi semua

sebab di dunia ini

seribu teman tak pernah cukup

satu musuh terlalu banyak

sebab itu jalanilah hidup sebenar-benarnya, sebaik-baiknya, setepat-tepatnya.

desa 136 d

(jan calvin pindo)


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL