Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT di Indonesia?
Written by Sarah Naomi on 31 August 2020
Di Indonesia, angka perceraian tertinggi diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Data CATAHU Komnas Perempuan 2019 menyebutkan, sepanjang 2018 lembaga layanan di Indonesia menangani 406.178 kasus kekerasan perempuan dengan jenis kekerasan didominasi KDRT sebanyak 71 persen.
KDRT merupakan tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan. Secara definisi, hal ini tercantum dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Lalu, apa yang harus dilakukan jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga?
Dr (C). Tubagus Ali Asghar, SH, MH, Ketua Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia, menyarankan untuk melapor ke pihak berwajib agar segera ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Korban dapat melapor maksimal 6 bulan dari hari kejadian agar bisa dilakukan visum et repertum terlebih dahulu. Visum et repertum digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa korban.
Pihak kepolisian akan memastikan perlindungan kepada korban dengan meminta bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan surat penetapan pengadilan, secara otomatis semua perangkat negara seperti kepolisian, relawan, pekerja sosial hingga rohaniwan dapat melakukan perlindungan khusus sampai korban sembuh dari penderitaan fisik. “Perlindungan hukum otomatis diberikan oleh kepolisian dalam 1×24 jam, lalu diberikan lagi 7×24 jam, kemudian setahun”, ujar Tubagus kepada RPK FM dalam program Obrolan Sehat dan Berisi (OBSESI).
Pemerintah juga memiliki kewajiban membantu masyarakat yang menderita akibat kekerasan dalam rumah tangga. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia akan memberi mediasi pada rumah tangga yang bermasalah. Korban akan diberikan pelatihan berdasarkan kemampuan sebagai bekal bila terjadi perceraian supaya korban bisa mandiri kedepannya.”Kalau tidak diberi pelatihan, nanti korban (perempuan) bergantung dengan suami karna takut kalau cerai ekonominya tidak terbantu,” tambah Tubagus. Dalam hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat rumah singgah bagi korban kekerasan rumah tangga.
Tubagus mengatakan bahwa masyarakat perlu diberikan kesadaran hukum. “UU PKDRT masih belum banyak diketahui masyarakat terutama di desa. Kalau di kota besar hampir sebagian besar masyarakat melek hukum”, ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional ini. Masyarakat terutama perempuan tidak perlu ragu melaporkan kepada kepolisian bila terjadi tindak kekerasan. Apabila merasa tidak mampu, korban bisa memberikan kuasa kepada kerabat atau pengacara untuk melaporkan kejadian tersebut. Korban tidak perlu takut karna dalam ranah hukum akan diberikan pendampingan kepada korban dan shock therapy kepada pelaku kekerasan.