Pemerintah Naikan Harga Cukai Rokok Rata-rata 12%
Written by Daniel Tanamal on 14 December 2021
Kementerian Keuangan resmi menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok untuk tahun 2022. Kenaikan tarif cukai rata-rata 12%, sedangkan untuk sigaret kretek tangan (SKT) kenaikan maksimal 4,5%. Pemerintah menetapkan kebijakan CHT dengan mempertimbangkan sejumlah hal, yaitu pengendalian konsumsi rokok, tenaga kerja, penerimaan negara dan pengawasan barang ilegal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kenaikan ini sudah disetujui oleh Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dengan adanya kebijakan ini maka harga rokok bisa menyentuh Rp 40.100 per bungkusnya. Kenaikan cukai hasil tembakau ini juga ditetapkan karena berbagai indikator. Menurut dia, kualitas kesehatan masyarakat harus ditingkatkan melalui berbagai instrumen kebijakan.
Sri Mulyani menyebutkan alokasi belanja kesehatan telah ditingkatkan menjadi minimal 5% dari total belanja pemerintah di APBN, baik untuk upaya-upaya pencegahan (preventive), pengobatan (curative), maupun peningkatan kualitas dan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
“Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, 9 dari 100 anak di Indonesia masih merokok. Jumlah ini termasuk yang tertinggi di Kawasan Asia. Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok,” kata dia dalam konferensi pers virtual, Senin (13/12) kemarin.
Dia menyebut selain menjadi faktor risiko kematian terbesar kedua di Indonesia menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat COVID-19.
Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9% di perkotaan dan 11,24% di perdesaan.
Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan. Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1% peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6%.
Kerugian akibat konsumsi rokok juga merambat ke perekonomian dan keuangan negara. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.