PRSSNI Minta Cabut Ayat-ayat Draft Revisi UU No. 32/2002

Written by on 15 May 2024

Sahabat RPK, Revisi UU No. 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran yang sedang berproses, langsung disikapi oleh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia atau PRSSNI. Melalui Ketua Umum PRSSNI, Muhammad Rafiq, organisasi perkumpulan radio-radio di seluruh Indonesia itu melihat ada beberapa hal yang harus dikeluarkan dari draft revisi UU Penyiaran tersebut, sebelum dijadikan undang-undang. UU no 32/2002 yang telah sudah berlaku selama 22 tahun itu, memang sudah dipastikan sangat tidak relevan lagi dengan situasi penyiaran di tanah air yang sudah mengalami disrupsi digital dan perubahan perilaku konsumen media di tanah air. Maka dalam proses revisi undang-undang tersebut, masyarakat bukan hanya harus mengawal proses tersebut, namun juga perlu bersikap kritis.

Sebab itu, dalam masa proses revisi undang-undang ini, menurut Rafiq, pasal dan ayat yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigatif harus ditarik dari draft itu. “Karena hal ini bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers dan UU No. 40/1999 tentang PERS,” begitu ungkapnya menekankan. Draft itu, masih kata Rafiq, melarang lembaga penyiaran melakukan dan penayangan karya jurnalistik investigatif. “Dan ketentuan itu adalah bentuk diskriminasi,” kata Rafiq lewat tulisan yang diedarkan PRSSNI pada hari Selasa tanggal 14 Mei 2024 yang lalu. Demikian juga dengan pasal dan ayat yang isinya membolehkan Komisi Penyiaran Indonesia menyelesaikan sengketa jurnalistik, yang terjadi di lembaga penyiaran. Rafiq mengatakan bahwa draft itu juga harus dicabut karena aturan itu sudah ada dalam UU No. 40/1999 tentang PERS.

Lalu yang ketiga, draft pasal 30 E ayat 2 dan 4 yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran radio harus melaksanakan Analog Switch Off pada tahun 2028, juga harus dicabut. “Pasal ini bertentangan dengan pasal 30 E ayat 1, ayat 2, ayat 5 dan ayat 6,” paparannya menjelaskan melalui tulisan yang sama. Bunyi pasal 30 E ayat satu menyatakan; “Digitalisasi lembaga penyiaran radio dilakukan secara alamiah dan terencana”. Dan dilanjutkan dengan pada ayat dua di pasal yang sama; “Yang dimaksud dengan alamiah dan terencana adalah dilaksanakan melalui teknologi analog dan digital secara bersamaan”. Lalu pada ayat lima menyatakan; “Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan oleh masyarakat dan lembaga penyiaran radio”. Demikian juga pada ayat enam; “Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dilakukan dengan memperhatikan jaminan kemampuan keberlangsungan usaha lembaga jasa penyiaran radio”. Maka, menurut Rafiq, ayat yang perlu dicabut pada pasal tersebut adalah ayat yang mengharuskan lembaga penyiaran radio untuk menggunakan teknologi digital terestrial.

“Karena radio digital terestrial terbukti gagal,” begitu ungkap Rafiq kemudian. Seraya mengatakan bahwa, di belahan dunia mana pun, sejak lembaga penyiaran dapat mendistribusikan siaran lewat internet, dan bisa menikmati siaran radio melalui smartphone tanpa harus membeli alat baru untuk mendengarkan radio digital terestrial. Menurut Rafiq, teknologi radio digital terestrial adalah pilihan, “bukan keharusan!” tegasnya. Di kesempatan yang sama, melalui edaran itu PRSSNI mengusulkan agar anggota KPI tidak lagi dipilih oleh DPR, dan sebaliknya, dipilih melalui sebuah panitia seleksi pemilihan anggota KPI, di mana keanggotaan panitia seleksi itu terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi lembaga penyiaran, asosiasi praktisi penyiaran, dan perwakilan masyarakat. “Dengan demikian diharapkan dapat terbentuk KPI yang kapabel, profesional dan independen,” tulis Rafiq menutup perbincangan.


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL