Sebagian Besar Perempuan Masih Ragu Menegur Orang Merokok di Rumah
Written by rpkfm on 14 September 2018
Sebagian besar perempuan, terutama ibu hamil, masih ragu meminta orang untuk tidak merokok di dalam rumah. Kebanyakan dari mereka memilih untuk meninggalkan ruangan saat suami, mertua, sanak saudara lainnya, bahkan tamu mereka tengah merokok. Padahal, mereka merasa terganggu dengan asap yang dihasilkan aktivitas merokok tersebut.
Hal tersebut ditemukan dalam penelitian awal (based-line research) yang dilakukan Departemen Perilaku Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Penelitian dilakukan di dua daerah Nusa Tenggara Timur, yaitu di Lombok dan Bima.
“Perempuan di Lombok dan Bima sebagian besar sungkan meminta orang untuk merokok di luar pada saat ada acara keluarga seperti kedukaan, pernikahan, dan rapat keluarga, bahkan mereka juga ragu menyatakan keberatan mereka saat ada tamu yang merokok,” papar salah seorang peneliti, Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA, usai memaparkan hasil penelitiannya terbarunya di forum Asia Pacific Conference on Tobacco or Health ke-12 (APACT12th) di Nusa Dua, Bali (14/09).
Menurut Retna, ada kebiasaan di dua tempat tersebut bahwa meminta orang lain untuk tidak merokok di dalam rumah adalah sebuah perilaku yang tidak sopan, apalagi dilakukan oleh perempuan. Sehingga, perempuan (termasuk ibu hamil) di Lombok dan Bima, memilih mengorbankan kepentingan mereka untuk ‘kenyamanan’ orang lain.
Lebih lanjut, Retna memaparkan bahwa sama seperti di kebanyakan tempat, perempuan di Lombok dan Bima, masih belum mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang bahaya merokok (smoker) dan bahaya terpapar asap rokok (secondhand smoker).
“Mereka hanya merasa tidak enak dan tidak nyaman menghisap asap rokok,” ujar Retna. “Karena itu, perlu adanya pemberdayaan perempuan, terutama perempuan hamil, untuk lebih mengetahui bahaya asap rokok terhadap kondisi kesehatan mereka.”
Konklusi lain dari penelitian awal ini, ada kebutuhan yang mendesak untuk juga memberdayakan kaum laki-laki, terutama para perokok, tentang efek negatif dari asap rokok terhadap kehamilan perempuan. Penelitian ini pun juga merekomendasikan intervensi terhadap lingkungan rumah melalui program “Smoke-Free Home”. Intervensi tersebut, menurut Retna, dapat berasal dari pemerintah dengan regulasi ketat demi kesehatan lingkungan dan masyarakat, juga dapat berupa gerakan bersama berbasis komunitas.
“Walau rumah bersifat private, namun sudah ada tanda dari para perempuan berani menegur perokok saat ada dukungan dari komunitas, karena mereka merasa mendapat dukungan,” pungkas Retna.
Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Kesehatan sudah memiliki program GERMAS atau Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Salah satu rekomendasi kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat adalah tidak merokok. Walau saat ini fokus pemerintah masih pada 3 gerakan awal (melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari, mengonsumsi buah dan sayur, memeriksakan kesehatan secara rutin), namun sudah saatnya aktivitas GERMAS terkait berhenti merokok dikedepankan.
“GERMAS bisa menjadi dasar kebijakan lanjutan pemerintah untuk melakukan intervensi ke ranah private (rumah-Red.),” kata Retna. “Intervensi yang sama baru-baru saja diberlakukan di Inggris.”
Penelitian yang sama sudah pernah dilakukan di Yogyakarta. Gerakan bersama melarang aktivitas merokok di dalam rumah hingga di lingkungan kampung sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran komunal terhadap bahaya merokok dan asap rokok. Bahkan dari hasil penelitian di Yogyakarta, terjadi penurunan aktivitas merokok di dalam rumah yang cukup signifikan.