Kepastian Hukum dan Pemulihan Ekonomi di Era New Normal

Written by on 4 September 2020

Kepastian hukum sebelum pandemi Covid-19 sangat berbeda dengan era new normal. Jika sebelumnya penegakan hukum bersifat penindakan, saat ini penegakan hukum lebih mengedepankan restorative justice. Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. “Kasus yang nilainya tidak signnifikan misalnya di bawah 2,5 juta tidak perlu diproses, istilahnya diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Kecuali kasus yang nilainya besar dan mengganggu ketertiban atau keamanan nasional, misalnya kasus berita bohong penemuan obat Covid-19 itu tetap diproses karna meresahkan masyarakat”, ujar Dr. Trubus Rahardiansyah, SH, MH, MM, Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia, kepada RPK FM melalui program Obsesi pada bulan Agustus 2020.

Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional mengatur penanganan Covid-19 dilakukan secara bersama-sama dengan penanganan ekonomi. Dalam peraturan Presiden ini terdapat 3 program yaitu program Indonesia Sehat, Indonesia Bekerja dan Indonesia Tumbuh. Ketiga program ini merupakan acuan untuk menekan Covid-19 dan dampak negatif dari pandemi di sektor sosial-ekonomi. Kepastian hukum diharapkan juga bisa berjalan secara beriringan dengan persoalan ekonomi.

Dalam rangka menjamin kepastian hukum, memperkuat upaya dan meningkatkan efektivitas pencegahan dan pengendalian Covid-19 di seluruh daerah provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 dengan menginstruksikan setiap kepala daerah termasuk TNI, Polri dan Kementerian untuk menyusun aturan pemberian sanksi kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Setiap daerah diberikan kebebasan dalam menerapkan penegakan hukum protokol kesehatan karna setiap daerah memiliki karakteristik wilayah dan kearifannya sendiri. Sanksi yang diberikan bisa berupa teguran, denda administratif, sanksi sosial bahkan penutupan tempat usaha yang dianggap melanggar protokol kesehatan. Seperti halnya di DKI Jakarta, masyarakat akan dikenakan denda administratif maksimal 250.000 jika tidak memakai masker sesuai dengan Pergub Nomor 41 Tahun 2020. Namun ada juga daerah yang tidak bersedia menerapkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020. Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X memilih cara berdialog ketimbang menerapkan sanksi kepada para pelanggar protokol kesehatan.

Menurut Trubus, pemerintah memiliki tugas berat untuk memantau penyusunan peraturan di daerah baik peraturan gubernur, bupati maupun walikota karna bisa menjadi momen pemulihan ekonomi juga. Namun setiap kegiatan perekonomian diharapkan tetap dengan protokol kesehatan. “Kalau dilihat dari pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah tentu ada ketakutan akan terjadi penyimpangan di lapangan, maka kepastian hukum harus menjadi prioritas”, ujar Trubus menutup pembicaraannya.


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


RPK FM

Education & Infotainment Station

Current track
TITLE
ARTIST

Positive SSL